Senin, 19 November 2018

Air

Menghidupi
Kadang ikut meratapi  bumi
Merendam amarah
Menyejukkan, Tak jarang menghentak jiwa

Menghumbalang rasa
Menghanyutkans egala sisa-sisa
Kejang rasa tak terperi
Semua lari kehilir

Sisa sedih
Lidah Kelu
Tersapu sudah
Cinta yang tercecer ikut dihanyutkannya

Sia sia
Menyintai manusia tak berbudi
Hanya menyisakan lelah
Dan rasa durjana

Menyentak
Air
Dingin
Bekulah sudah

Minggu, 20 Mei 2012

Gaminong | Mapala STIK Bersihkan Bantaran Krueng Daroy

BANDA ACEH - Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Pante Kulu Darussalam, Banda Aceh, Minggu, 20 Mei 2012 membersihkan bantaran sungai Krueng Daroy dari tumpukan sampah anorganik. Jimmy, salah seorang panitia, kepada Atjeh Post, menyebutkan pembersihan sungai dilakukan dari desa Geundering, Mata Ie, hingga ke taman Putroe Phang. "Aksi diikuti oleh seluruh perwakilan mapala universitas lainnya di Banda Aceh, kelompok masyarakat pecinta alam, serta warga desa sepanjang sungai tersebut," kata Jimmy. Ia menambahkan mereka melakukan start di Desa Gendering Matai Ie pada pukul 09.00 Wib dan baru tiba di taman Putroe Phang sekitar pukul 16.00 sore. "Hasil pengamatan di sepanjang Krueng Daroy, sungai tersebut sangat tercemar oleh limbah rumah tangga. Pencemaran limbah ini telah menghambat debet air. Kadar air menjadi lumpur yang dapat menimbulkan penyakit," tambahnya lagi. Bahkan, menurutnya, kondisi ini jika terus dibiarkan dapat menyebabkan banjir karena aliran air terhambat. Ia juga mengharapkan masyarakat di seputaran aliran sungai untuk tidak membuang sampah rumah tangga ke sungai.

Sabtu, 11 Juni 2011

Kondisi Krueng Aceh Memprihatinkan

Sumber : http://aceh.tribunnews.com

 
Kreung (sungai) Aceh (http://www.panoramio.com)
BANDA ACEH - Kepala Bidang Penataan dan Standarisasi Lingkungan Bapedal Provinsi Aceh, Ir H Mukhlisuddin MSi mengatakan, kerusakan lingkungan dan pencemaran air di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Krueng Aceh kini sangat memprihatinkan. Hasil penelitian sejumlah pihak menyimpulkan, Krueng Aceh sudah termasuk kategori tercemar sedang, akibat pembuangan limbah dan aktivitas penambangan galian C.

“Pencemaran air disebabkan banyaknya limbah/sampah yang dibuang ke sungai. Sementara, kerusakan lingkungan yang terjadi seperti erosi tebing sungai, perubahan aliran sungai, dan instrusi air laut yang sudah melewati jembatan Lambaro, disebabkan aktivitas penambangan galian C di sepanjang sungai yang mempengaruhi kualitas air sungai tersebut,” katanya, kepada Serambi, Selasa (6/4).

Krueng Aceh merupakan sungai yang mengalir di wilayah Pidie, Aceh Besar, dan Banda Aceh. “Sayangnya, sungai yang menjadi sumber utama air baku bagi masyarakat Banda Aceh dan Aceh Besar ini, kondisinya kini sudah tercemar,” jelasnya.

Penelitian terhadap pencemaran dan kerusakan DAS Krueng Aceh itu dilakukan sejak lima tahun terakhir oleh Bapedal Aceh. Selain itu, NGO dari Jerman (GTZ) melalui program SLGSR yang turut melakukan pemantauan terhadap kualitas air, juga menyatakan Krueng Aceh sudah pada tahap tercemar sedang.

Untuk mengembalikan, menjaga, dan mempertahankan kualitas air sungai, Bapedal Aceh menyarankan semua pihak, terutama pemerintah Banda Aceh dan Aceh Besar, menata ulang dan menghentikan aktivitas penambangan pasir di sepanjang Krueng Aceh. “Pencemaran dan kerusakan Krueng Aceh perlu menjadi perhatian semua pihak, sebelum kondisinya bertambah parah,” kata Mukhlisuddin.(awi)

Jumat, 27 Mei 2011

Dibalik Bencana Kecamatan Tangse

Sebelum dunia dihebohkan oleh gempa dan tsunami yang merontokkan Jepang. Di Aceh, Tangse lebih dulu dipeluk oleh musibah kembali berupa banjir bandang yang menewaskan 19 warga di Kecamatan Tangse, Aceh sekitar pukul 19 WIB (Kamis, 10/3). Sebelas desa mengalami kerusakan yang sangar parah, 30 rumah hanyut, 8.275 rusak berat, dan 150 rumah hancur total. Belum lagi fasilitas publik, seperti jalan, jembatan, puskesmas, serta instalasi air bersih yang porak poranda.

Wakil Bupati Pidie, Nazir Adam, menyatakan bencana di Tangse itu setara dengan bencana Wasior. Khusus bagi Pidie, ini merupakan bencana terdahsyat dalam 35 tahun terakhir, sejak Beungga di Tangse dihantam banjir besar akibat meledaknya kawah gunung di kawasan itu pada Desember 1976 yang mengakibatkan ratusan orang meninggal.

Dibalik bencana ini kita patut bertanya, kenapa kajadian ini begitu destruktif, sangat parah skala kerusakan. Perkampungan terlihat rata dalam hitungan detik, ratusan hetar sawah hancur di terjang banjir. Hal ini menurut saya di sebabkan oleh perambahan hutan (illegal loging) di hulu Tangse, di kawasan Gunong Halimon hingga ke DAS Krueng Tangse.

Ketika kita menuduh para perambah hutan, kita tentu perlu bukti. Tapi bukti-bukti tak perlu lagi dicari, karena sudah terhidang di depan mata. Di lokasi banjir itu ditemukan ratusan kayu bulat yang dibawa air bah. Kayu-kayu itu sebagian besar sudah duluan ditebang, bukan semata-mata karena tercerabut oleh ganasnya banjir bandang.


Bagi kita, bencana Tangse ini sekaligus menyentakkan alam kesadaran kita. Bahwa meski sejak 2007 Gubernur Irwandi memberlakukan jeda tebang (moratorium) hutan Aceh, tapi kenyataannya, hutan-hutan kita yang menjadi sumber resapan atau reservoar air, tetap saja mengalami deforestasi yang memprihatinkan. Misalnya, di kawasan Gunong Halimon dan Kecamatan Tangse itu. Kita pantas bertanya, apa saja kerja polisi hutan (jagawana) kita yang jumlahnya lebih dari 3.000 orang dan selalu terima gaji itu? Kenapa saat moratorium logging dicanangkan, saat jagawana ditambah, hutan kita tetap merana? Bencana Tangse ini mestinya menjadi momentum bagi penguasa untuk mengevaluasi efektivitas kerja para polisi hutan dan dinas serta instansi terkait!

Hal demikian kita berharap tidak kembali terjadi pada daerah-daerah lainnya. Cukuplah Tangse menjadi contoh nyata akibat pembalakan liar. Sudah saatnya masyarakat Aceh harus ramah terhadap lingkungan dan kasihani anak – anak cucu kita puluhan tahun kedepan. Jeda Tebang Hutan (moratorium) sudah saat di jalankan. Bahkan jangan hanya moratorium saja, tapi berhentilah menebang hutan, karena pohon kayu merupakan sumber air bersih yang harus selalu kita jaga.

Rabu, 25 Mei 2011

Hutan Ulu Masen

Kawasan seluas 750.000 hektar ini memiliki kekayaan aneka-ragaman hayati yang sangat penting di dunia selain memiliki fungsi-fungsi ekologis yang sangat bermanfaat terutama bagi masyarakat disekitarnya. Fungsi ekologis yang paling penting adalah penyedia sumber air sebagai salah satu kebutuhan pokok makhluk hidup disekitarnya.

Hutan Ulu Masen yang terdapat di wilayah bagian barat Provinsi Aceh merupakan satu-satunya kawasan penyedia jasa lingkungan di Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar dan Bireuen. Diperkirakan ada dua juta penduduk Aceh bergantung hidupnya dari keberadaan Hutan Ulu Masen. Pasokan air bersih, pertanian, perkebunan, irigasi, menggerakkan turbin listrik tenaga air, serta meminimalisir dampak bencana banjir dan longsor.

Peran Ulu Masen sebagai sumber kehidupan dua juta masyarakat Aceh merupakan fakta yang tak terbantahkan. Ratusan sungai besar dan kecil mengalir di Krueng Aceh, Krueng Teunom, Krueng Woyla, Krueng Meureudu dan Krueng Tiro merupakan salah satu jasa ekologi yang tak ternilai (lihat table-001, jenis DAS di Ulu Masen). Selain sumber Hidrogi, Ulu Masen juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber hasil hutan non kayu, seperti madu dan rotan yang dapat dikelola oleh masyarakat sekitar hutan sebagai sumber penghasilan. Hutan Ulu Masen juga berguna untuk menyerap gas karbon di udara sebagai penyebab kenaikan suhu permukaan bumi yang berdampak terhadap naiknya permukaan air laut.

Kawasan Ulu Masen memiliki variasi ketinggian yang beragam dengan dataran rendah dibagaian barat dan timur. Pergunungan bukit barisan membentang hampir tepat ditengah wilayah Aceh. Pergunungan yang terjadi karena lipatan lempeng bumi tersebut memunculkan gunung berapi diantaranya Gunung Seulawah, di Aceh Besar. Lipatan yang terjadi sebagian berasal dari lapisan sendimen yang berasal di bawah permukaan laut yang kemudian muncul menjadi deretan pergunungan. Salah satu contoh pergunungan kapur di daerah Lhkonga, Aceh Besar.

Kombinasi antara curah hujan yang tinggi dan topografi yang terjal dibagian tengah mengalirkan sungai-sungai besar ke pantai barat, seperti Krueng Teunom di Aceh Jaya dan Krueng Tripa di Aceh Selatan. Kawasan Hutan Ulu Masen merupakan tipe hutan dataran rendah hingga ke hutan pegunungan. Luas kawasan ini setara dengan luas Kepulauan Riau, cukup luas untuk di sambangi.

Rincian luas kawasan Ulu Masen ini meliputi Kabupaten Aceh Jaya dengan cakupannya seluas 266.573 hektar atau 36 persen dari total luas Ulu Masen. Kemudian di Pidie dan Pidie Jaya memiliki cakupan luas 264.283 hektar atau 36 persen. Diikuti Kabupaten Aceh Barat dengan luas 113.012 hektar atau 15 persen dan Kabupaten Aceh Besar memiliki cakupan luasnya 94.989 hektar atau 13 persen dari total luas kawasan Ulu Masen.

Keanekaragaman Hayati

Kawasan Ulu Masen merupakan rumah bagi sebagian satwa khas sumatera, seperti Gajah (Elephas maximus sumatranus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Kucing Hutan (Felis bengalensis), Rusa Sambar (Cervus unicolor), Kancil dan Pelanduk (Tragulus sp), Wau-Wau Tangan Putih (Hylobates lar), Siaman (Hylobates syndatylus), Kedih (Presbytis thomasi), Lutung (Presbytis cristata), Beruk (Macaca nemestrina), Kera Ekor Panjang (Macaca Fascicularis), dan keberadaan Orangutan (Pongo abelii), masih merupakan penelitian lebih lanjut serta berbagai jenis burung seperti; Rangkong Papan (Buceros bicornis), Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus), yang jumlahnya sudah menurun drastis. Kelompok hewan antrophoda adalah kelompok hewan yang menguasai dunia dari segi jumlah dan persebarannya, seperti, Krustase (Crustacea), Milliped (Diplopoda), Lipan (Chilopoda), Laba-Laba (Arachnida), dan serangga yang menarik seperti kupu-kupu dan capung. Berbagai jenis air tawar yang memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan juga banyak terdapat disepanjang aliran sungai.

Tipe Hutan

Hutan Dataran Rendah

Setelah menyambangi dataran pinggir laut, dijumpai hutan denga kayu-kayu yang besar. Hutan dataran rendah Sumatera tidak hanya kaya akan kayu komersil, akar pencekik salah satu yang paling berhasil dalam persebarannya karena hubungan yang saling menguntungkan dengan satwa, tetapi setelah menempel di ujung pohon kayu yang tinggi dan kemudian menjulurkan akar ke tanah, setelah sampai ke tanah kemudian memperkuat batang dan perakarannya, dan secara perlahan mulai mencekik erat pohong inangnya hingga mati, pohon ini adalah penyedia buah-buahan di hutan dataran rendah.

Bunga berwarna-warni cerah mewarnai lantai hutan dataran rendah seperti, Raflesia, Rizanthes dan Amorphopallus titanium dan banyak jenis lainnya seperti anggrek dan jahe-jahean.

Pegunungan Dataran Rendah

Hutan pegunungan dataran rendah diatas 500 mdpl, masih cukup kaya akan jenis, namun kadang terdapat habitat spesifik seperti hamparan rawa yang banyak di jumpai pohon pinus didaerah antara SP-5 dan Gunung Tutung. Hutan rawa yang cenderung asam dapat dilihat dari tumbuhan pemakan serangga Nepenthes sp yang melimpah.

Hutan Pengunungan atau Hutan Lumut

Pada ketinggian diatas 1500 mdpl lantai hutan dan pepohonan sering tertutup oleh kabut, dan umumnya tanah cenderung menjadi asam. Sehingga pada ketinggian tersebut akan dijumpai tumbuhan pemakan serangga Nepenthes sp tetapi Gunung Seulawah Agam adalah menarik sampai puncaknya ph tanah masih netral yaitu 6.5, sehingga sampai puncaknya masih tertutup oleh vegetasi rapat.

Puncak tertinggi di Kawasan Ulu Masen adalah Gunung Peut Sagoe (empat segi) karena memang terdapat empat puncak yang berdekatan, salah satunya Gunung Tutung dan masih aktif , aliran belerang mengalir di sepanjang Sungai Ciko (dalam bahasa Aceh, artinya keruh). Belum ada eksplorasi keanekaragaman hayati yang memadai kearah pegunungan, kecuali Badan Meterologi yang aktif memonitor aktifitas gunung.

Vegetasi Ulu Masen

Tidak ada yang lebih terkenal didunia selain hutan hujan tropis, tidak lain disebabkan oleh rentang ketinggian dan variasi dari tipe tanah. Sumatera tercatat memiliki lebih dari 10.000 jenis vegetasi. Kawasan ini merupakan pelabuhan bagi persebaran tanaman, termasuk didalamnya tumbuhan parasit yang sangat terkenal, seperti bunga Raflesia dan Rizanthes. Tumbuhan pemakan serangga Nepenthes sp dan tumbuhan raksasa Kompasia excelsa yang paling terkenal adalah Depterocarpus sp. Terutama di hutan dataran rendah, sehingga hutan dataran rendah dikenal dengan hutan Dipterocarpacea, tidak lain karena pohon ini cukup tiga individu untuk menutupi luasan satu hektar.

Puslitbang Biologi-LIPI-Birdlife-Indonesia Program 2000 mengkatagorikan hutan-hutan tropis terbagi menjadi beberapa zona berdasarkan ketinggian antara lain; dataran rendah antara 0-750 mdpl, pegunungan dataran rendah lebih dari 750-1500 mdpl dan pegunungan dataran tinggi dengan ketinggian diatas 1500 mdpl.

Aceh adalah sangat menarik dari segi topografi karena mempunyai kisaran ketinggian beragam dari permukaan laut sampai puncak Gunung Leuser 3404 mdpl, rangkaian pegunungan bukit barisan dibagian utara terbagi menjadi tiga rangkaian yaitu :

  1. Rangkaian Pasee meliputi Gunung Geureudong 2595 mdpl, Gunung Peut Sagoe 2708 mdpl.
  2. Rangkaian Gayo meliputi Gunung Bumi Telong 2566 mdpl, Gunung Ucap Malu 3187 mdpl,
  3. Rangkaian Alas Gunung meliputi Gunung Abong-Abong 3015 mdpl, Gunung Leuser 3404 mdpl dan dua gunung yang tidak termasuk rangkaian pegunungan diatas yaitu : Gunung Seulawah Agam 1762 mdpl, dan Gunung Seulawah Inong 868 mdpl.

Ulu Masen merupakan rangkaian ekosistem dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan dengan puncaknya tertinggi Gunung Peut Sagoe 2708 mdpl. Kawasan ini mempunyai nilai strategis sebagai daerah tangkapan air dalam mendukung kelangsungan penduduk disekitarnya, yang menggantungkan hidupnya dari keramahan kawasan ini sebagai pensuplai air, beberapa sungai yang berhulu dari kawasan ini antara lain; Krueng Aceh, Krueng Teunom, Krueng Masen dan Krueng Meureubo.

Untuk Siapa Ulu Masen

Jika kita cermati untuk siapa Ulu Masen ini tentu akan lebih mudah untuk menjawabnya yaitu untuk jutaan masyarakat Aceh yang tinggal dikawasan itu. Seperti yang dijelaskan tulisan diatas, Ulu Masen ini ditegaskan lagi berada di Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie dan Pidie Jaya, Aceh Besar dan sebahagian Bireuen. Kawasan yang luasnya lebih kurang 750.000 hektar ini untuk menjaga dan mempertahankan kehidupan jutaan rakyat Aceh yang sangat bergantung terhadap jasa-jasa lingkungan. Mempertahankan kelestarian hutan sama dengan mempertahankan kehidupan kita hari dan generasi anak cucu kita yang akan datang.

Table-001

Nama DAS

Luas (Ha)

DAS Teunom

261.546

DAS Woyla

252,440

DAS Masen

66,559

DAS Krueng Aceh

185,662

DAS Lambeuso

59,868

DAS Krueng Sabee

63,526

DAS Meureudu

48, 521

DAS Krueng Meureubo

139,594

DAS Geupe

44,354

DAS Krueng Baro

54,336

DAS Krueng Tiro

47,654

DAS Kuala Unga

22,525

DAS Pante Raja

27,743

DAS Pante Kuyun

27,212

DAS Pongo

21,744

DAS Lelin

19,290

DAS Krian / Samalanga

25,521

DAS Peudada

37,516

DAS Batee

19,219

DAS Bieueu

32,205

DAS Kuala Bubon

23,146

DAS Raya

12,828

DAS Sambang / Pandrah

11,921

DAS Seumayam

26,472

DAS Seunagan

78,714

DAS Kuala Tadu

34,904

DAS Teungku

17,281

DAS Trang

34,774

DAS Tripa

73,385

Sumber : Protected Area, FFI Aceh Program 2007

Danau Laut Tawar

Danau Laut Tawar
Terlihat Dari Atas Bukit Aceh Tengah