Jumat, 27 Mei 2011

Dibalik Bencana Kecamatan Tangse

Sebelum dunia dihebohkan oleh gempa dan tsunami yang merontokkan Jepang. Di Aceh, Tangse lebih dulu dipeluk oleh musibah kembali berupa banjir bandang yang menewaskan 19 warga di Kecamatan Tangse, Aceh sekitar pukul 19 WIB (Kamis, 10/3). Sebelas desa mengalami kerusakan yang sangar parah, 30 rumah hanyut, 8.275 rusak berat, dan 150 rumah hancur total. Belum lagi fasilitas publik, seperti jalan, jembatan, puskesmas, serta instalasi air bersih yang porak poranda.

Wakil Bupati Pidie, Nazir Adam, menyatakan bencana di Tangse itu setara dengan bencana Wasior. Khusus bagi Pidie, ini merupakan bencana terdahsyat dalam 35 tahun terakhir, sejak Beungga di Tangse dihantam banjir besar akibat meledaknya kawah gunung di kawasan itu pada Desember 1976 yang mengakibatkan ratusan orang meninggal.

Dibalik bencana ini kita patut bertanya, kenapa kajadian ini begitu destruktif, sangat parah skala kerusakan. Perkampungan terlihat rata dalam hitungan detik, ratusan hetar sawah hancur di terjang banjir. Hal ini menurut saya di sebabkan oleh perambahan hutan (illegal loging) di hulu Tangse, di kawasan Gunong Halimon hingga ke DAS Krueng Tangse.

Ketika kita menuduh para perambah hutan, kita tentu perlu bukti. Tapi bukti-bukti tak perlu lagi dicari, karena sudah terhidang di depan mata. Di lokasi banjir itu ditemukan ratusan kayu bulat yang dibawa air bah. Kayu-kayu itu sebagian besar sudah duluan ditebang, bukan semata-mata karena tercerabut oleh ganasnya banjir bandang.


Bagi kita, bencana Tangse ini sekaligus menyentakkan alam kesadaran kita. Bahwa meski sejak 2007 Gubernur Irwandi memberlakukan jeda tebang (moratorium) hutan Aceh, tapi kenyataannya, hutan-hutan kita yang menjadi sumber resapan atau reservoar air, tetap saja mengalami deforestasi yang memprihatinkan. Misalnya, di kawasan Gunong Halimon dan Kecamatan Tangse itu. Kita pantas bertanya, apa saja kerja polisi hutan (jagawana) kita yang jumlahnya lebih dari 3.000 orang dan selalu terima gaji itu? Kenapa saat moratorium logging dicanangkan, saat jagawana ditambah, hutan kita tetap merana? Bencana Tangse ini mestinya menjadi momentum bagi penguasa untuk mengevaluasi efektivitas kerja para polisi hutan dan dinas serta instansi terkait!

Hal demikian kita berharap tidak kembali terjadi pada daerah-daerah lainnya. Cukuplah Tangse menjadi contoh nyata akibat pembalakan liar. Sudah saatnya masyarakat Aceh harus ramah terhadap lingkungan dan kasihani anak – anak cucu kita puluhan tahun kedepan. Jeda Tebang Hutan (moratorium) sudah saat di jalankan. Bahkan jangan hanya moratorium saja, tapi berhentilah menebang hutan, karena pohon kayu merupakan sumber air bersih yang harus selalu kita jaga.

Rabu, 25 Mei 2011

Hutan Ulu Masen

Kawasan seluas 750.000 hektar ini memiliki kekayaan aneka-ragaman hayati yang sangat penting di dunia selain memiliki fungsi-fungsi ekologis yang sangat bermanfaat terutama bagi masyarakat disekitarnya. Fungsi ekologis yang paling penting adalah penyedia sumber air sebagai salah satu kebutuhan pokok makhluk hidup disekitarnya.

Hutan Ulu Masen yang terdapat di wilayah bagian barat Provinsi Aceh merupakan satu-satunya kawasan penyedia jasa lingkungan di Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar dan Bireuen. Diperkirakan ada dua juta penduduk Aceh bergantung hidupnya dari keberadaan Hutan Ulu Masen. Pasokan air bersih, pertanian, perkebunan, irigasi, menggerakkan turbin listrik tenaga air, serta meminimalisir dampak bencana banjir dan longsor.

Peran Ulu Masen sebagai sumber kehidupan dua juta masyarakat Aceh merupakan fakta yang tak terbantahkan. Ratusan sungai besar dan kecil mengalir di Krueng Aceh, Krueng Teunom, Krueng Woyla, Krueng Meureudu dan Krueng Tiro merupakan salah satu jasa ekologi yang tak ternilai (lihat table-001, jenis DAS di Ulu Masen). Selain sumber Hidrogi, Ulu Masen juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber hasil hutan non kayu, seperti madu dan rotan yang dapat dikelola oleh masyarakat sekitar hutan sebagai sumber penghasilan. Hutan Ulu Masen juga berguna untuk menyerap gas karbon di udara sebagai penyebab kenaikan suhu permukaan bumi yang berdampak terhadap naiknya permukaan air laut.

Kawasan Ulu Masen memiliki variasi ketinggian yang beragam dengan dataran rendah dibagaian barat dan timur. Pergunungan bukit barisan membentang hampir tepat ditengah wilayah Aceh. Pergunungan yang terjadi karena lipatan lempeng bumi tersebut memunculkan gunung berapi diantaranya Gunung Seulawah, di Aceh Besar. Lipatan yang terjadi sebagian berasal dari lapisan sendimen yang berasal di bawah permukaan laut yang kemudian muncul menjadi deretan pergunungan. Salah satu contoh pergunungan kapur di daerah Lhkonga, Aceh Besar.

Kombinasi antara curah hujan yang tinggi dan topografi yang terjal dibagian tengah mengalirkan sungai-sungai besar ke pantai barat, seperti Krueng Teunom di Aceh Jaya dan Krueng Tripa di Aceh Selatan. Kawasan Hutan Ulu Masen merupakan tipe hutan dataran rendah hingga ke hutan pegunungan. Luas kawasan ini setara dengan luas Kepulauan Riau, cukup luas untuk di sambangi.

Rincian luas kawasan Ulu Masen ini meliputi Kabupaten Aceh Jaya dengan cakupannya seluas 266.573 hektar atau 36 persen dari total luas Ulu Masen. Kemudian di Pidie dan Pidie Jaya memiliki cakupan luas 264.283 hektar atau 36 persen. Diikuti Kabupaten Aceh Barat dengan luas 113.012 hektar atau 15 persen dan Kabupaten Aceh Besar memiliki cakupan luasnya 94.989 hektar atau 13 persen dari total luas kawasan Ulu Masen.

Keanekaragaman Hayati

Kawasan Ulu Masen merupakan rumah bagi sebagian satwa khas sumatera, seperti Gajah (Elephas maximus sumatranus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Kucing Hutan (Felis bengalensis), Rusa Sambar (Cervus unicolor), Kancil dan Pelanduk (Tragulus sp), Wau-Wau Tangan Putih (Hylobates lar), Siaman (Hylobates syndatylus), Kedih (Presbytis thomasi), Lutung (Presbytis cristata), Beruk (Macaca nemestrina), Kera Ekor Panjang (Macaca Fascicularis), dan keberadaan Orangutan (Pongo abelii), masih merupakan penelitian lebih lanjut serta berbagai jenis burung seperti; Rangkong Papan (Buceros bicornis), Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus), yang jumlahnya sudah menurun drastis. Kelompok hewan antrophoda adalah kelompok hewan yang menguasai dunia dari segi jumlah dan persebarannya, seperti, Krustase (Crustacea), Milliped (Diplopoda), Lipan (Chilopoda), Laba-Laba (Arachnida), dan serangga yang menarik seperti kupu-kupu dan capung. Berbagai jenis air tawar yang memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan juga banyak terdapat disepanjang aliran sungai.

Tipe Hutan

Hutan Dataran Rendah

Setelah menyambangi dataran pinggir laut, dijumpai hutan denga kayu-kayu yang besar. Hutan dataran rendah Sumatera tidak hanya kaya akan kayu komersil, akar pencekik salah satu yang paling berhasil dalam persebarannya karena hubungan yang saling menguntungkan dengan satwa, tetapi setelah menempel di ujung pohon kayu yang tinggi dan kemudian menjulurkan akar ke tanah, setelah sampai ke tanah kemudian memperkuat batang dan perakarannya, dan secara perlahan mulai mencekik erat pohong inangnya hingga mati, pohon ini adalah penyedia buah-buahan di hutan dataran rendah.

Bunga berwarna-warni cerah mewarnai lantai hutan dataran rendah seperti, Raflesia, Rizanthes dan Amorphopallus titanium dan banyak jenis lainnya seperti anggrek dan jahe-jahean.

Pegunungan Dataran Rendah

Hutan pegunungan dataran rendah diatas 500 mdpl, masih cukup kaya akan jenis, namun kadang terdapat habitat spesifik seperti hamparan rawa yang banyak di jumpai pohon pinus didaerah antara SP-5 dan Gunung Tutung. Hutan rawa yang cenderung asam dapat dilihat dari tumbuhan pemakan serangga Nepenthes sp yang melimpah.

Hutan Pengunungan atau Hutan Lumut

Pada ketinggian diatas 1500 mdpl lantai hutan dan pepohonan sering tertutup oleh kabut, dan umumnya tanah cenderung menjadi asam. Sehingga pada ketinggian tersebut akan dijumpai tumbuhan pemakan serangga Nepenthes sp tetapi Gunung Seulawah Agam adalah menarik sampai puncaknya ph tanah masih netral yaitu 6.5, sehingga sampai puncaknya masih tertutup oleh vegetasi rapat.

Puncak tertinggi di Kawasan Ulu Masen adalah Gunung Peut Sagoe (empat segi) karena memang terdapat empat puncak yang berdekatan, salah satunya Gunung Tutung dan masih aktif , aliran belerang mengalir di sepanjang Sungai Ciko (dalam bahasa Aceh, artinya keruh). Belum ada eksplorasi keanekaragaman hayati yang memadai kearah pegunungan, kecuali Badan Meterologi yang aktif memonitor aktifitas gunung.

Vegetasi Ulu Masen

Tidak ada yang lebih terkenal didunia selain hutan hujan tropis, tidak lain disebabkan oleh rentang ketinggian dan variasi dari tipe tanah. Sumatera tercatat memiliki lebih dari 10.000 jenis vegetasi. Kawasan ini merupakan pelabuhan bagi persebaran tanaman, termasuk didalamnya tumbuhan parasit yang sangat terkenal, seperti bunga Raflesia dan Rizanthes. Tumbuhan pemakan serangga Nepenthes sp dan tumbuhan raksasa Kompasia excelsa yang paling terkenal adalah Depterocarpus sp. Terutama di hutan dataran rendah, sehingga hutan dataran rendah dikenal dengan hutan Dipterocarpacea, tidak lain karena pohon ini cukup tiga individu untuk menutupi luasan satu hektar.

Puslitbang Biologi-LIPI-Birdlife-Indonesia Program 2000 mengkatagorikan hutan-hutan tropis terbagi menjadi beberapa zona berdasarkan ketinggian antara lain; dataran rendah antara 0-750 mdpl, pegunungan dataran rendah lebih dari 750-1500 mdpl dan pegunungan dataran tinggi dengan ketinggian diatas 1500 mdpl.

Aceh adalah sangat menarik dari segi topografi karena mempunyai kisaran ketinggian beragam dari permukaan laut sampai puncak Gunung Leuser 3404 mdpl, rangkaian pegunungan bukit barisan dibagian utara terbagi menjadi tiga rangkaian yaitu :

  1. Rangkaian Pasee meliputi Gunung Geureudong 2595 mdpl, Gunung Peut Sagoe 2708 mdpl.
  2. Rangkaian Gayo meliputi Gunung Bumi Telong 2566 mdpl, Gunung Ucap Malu 3187 mdpl,
  3. Rangkaian Alas Gunung meliputi Gunung Abong-Abong 3015 mdpl, Gunung Leuser 3404 mdpl dan dua gunung yang tidak termasuk rangkaian pegunungan diatas yaitu : Gunung Seulawah Agam 1762 mdpl, dan Gunung Seulawah Inong 868 mdpl.

Ulu Masen merupakan rangkaian ekosistem dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan dengan puncaknya tertinggi Gunung Peut Sagoe 2708 mdpl. Kawasan ini mempunyai nilai strategis sebagai daerah tangkapan air dalam mendukung kelangsungan penduduk disekitarnya, yang menggantungkan hidupnya dari keramahan kawasan ini sebagai pensuplai air, beberapa sungai yang berhulu dari kawasan ini antara lain; Krueng Aceh, Krueng Teunom, Krueng Masen dan Krueng Meureubo.

Untuk Siapa Ulu Masen

Jika kita cermati untuk siapa Ulu Masen ini tentu akan lebih mudah untuk menjawabnya yaitu untuk jutaan masyarakat Aceh yang tinggal dikawasan itu. Seperti yang dijelaskan tulisan diatas, Ulu Masen ini ditegaskan lagi berada di Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie dan Pidie Jaya, Aceh Besar dan sebahagian Bireuen. Kawasan yang luasnya lebih kurang 750.000 hektar ini untuk menjaga dan mempertahankan kehidupan jutaan rakyat Aceh yang sangat bergantung terhadap jasa-jasa lingkungan. Mempertahankan kelestarian hutan sama dengan mempertahankan kehidupan kita hari dan generasi anak cucu kita yang akan datang.

Table-001

Nama DAS

Luas (Ha)

DAS Teunom

261.546

DAS Woyla

252,440

DAS Masen

66,559

DAS Krueng Aceh

185,662

DAS Lambeuso

59,868

DAS Krueng Sabee

63,526

DAS Meureudu

48, 521

DAS Krueng Meureubo

139,594

DAS Geupe

44,354

DAS Krueng Baro

54,336

DAS Krueng Tiro

47,654

DAS Kuala Unga

22,525

DAS Pante Raja

27,743

DAS Pante Kuyun

27,212

DAS Pongo

21,744

DAS Lelin

19,290

DAS Krian / Samalanga

25,521

DAS Peudada

37,516

DAS Batee

19,219

DAS Bieueu

32,205

DAS Kuala Bubon

23,146

DAS Raya

12,828

DAS Sambang / Pandrah

11,921

DAS Seumayam

26,472

DAS Seunagan

78,714

DAS Kuala Tadu

34,904

DAS Teungku

17,281

DAS Trang

34,774

DAS Tripa

73,385

Sumber : Protected Area, FFI Aceh Program 2007

Danau Laut Tawar

Danau Laut Tawar
Terlihat Dari Atas Bukit Aceh Tengah

Selasa, 24 Mei 2011

Banjir Bandang Di Kecamatan Tangse


Bencana alam Banjir Bandang di Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie pada Tanggal 10 Maret 2011 yang menghancurkan 11 desa di Kecamatan Tangse.

Senin, 23 Mei 2011

KONDISI EKOSISTEM DAERAH ALIRAN SUNGAI DI ACEH

Luas daratan yang dipetakan di Provinsi Aceh sekitar 5.650.564 Ha yang terdiri dari penutupan lahan yang didominasi oleh Hutan lahan kering primer dengan luas mencapai 1,19 Juta Ha (21,118%) kemudian hutan lahan kering sekunder dengan luas 1,02 juta Ha (18,067 %). Selanjutnya pertanian lahan kering campur semak seluas 448 ribu Ha ( 7,929 %), semak belukar seluas 402 ribu Ha (7,115 %). Tanah terbuka seluas 161,42 ribu Ha (2,857 %). Pertanian lahan kering seluas 141,43 ribu Ha (2,5 %), dan perkebunan hasil interpretasi seluas 65,32 ribu Ha (1,16 %). Pada proses interpretasi citra satelit tersebut terdapat kekosongan data karena tutupan awan yang berkisar 2,05 juta Ha (36,418 %) dari total luas wilayah provinsi Aceh.

EKOSISTEM DAERAH ALIRAN SUNGAI DI ACEH KRITIS

Umumnya bencana tersebut berkaitan erat dengan menurunnya daya dukung lingkungan hidup, khususnya Daerah Aliran Sungai (DAS). Terutama karena rusaknya kawasan hulu dan tengah DAS di sejumlah lokasi dalam Provinsi NAD. Kerusakan tersebut umumnya terjadi akibat kegiatan perambahan hutan (Illegal enroatcment)dan penebangan kayu yang melanggar hukum (Illegal logging).

Perambahan hutan (Illegal Enroacment) dan Penebangan kayu haram (Illegal Logging) tersebut berlangsung pesat karena adanya celah kekosongan pengawasan apartur negara sebagai akibat diberikannya ijin konversi hutan untuk usaha perkebunan dan perkayuan serta oleh rencana-rencana pembangunan infrastruktur di dan sekitar kawasan hutan lindung dan konservasi yang menjadi hulu sejumlah DAS di Aceh.

Adapun DAS yang kondisi nya sangat kritis dan potensial menimbulkan bencana lingkungan hidup lanjutan di Aceh adalah sebagai berikut:

No. Nama Daerah Aliran Sungai (DAS) Kabupaten Luas DAS (Ha) per-Kabupaten Luas Areal DAS Rusak (Hektar) Prosentase Perusakan
1. Krueng Peusangan

(Wilayah Hulu, Tengah dan Hilir)

-Aceh Barat

-Aceh Jeumpa

-Aceh Tengah

-Aceh Utara

2.134,67

69.523,91

173.257,24

7.153,99

103,05

58.498,27

107.477,03

6.114.23

4,83 %

84,14%

62,07%

85,47%

2. Krueng Meurebo -Aceh Barat

-Aceh Tengah

145.994,50

46.764,90

59.436,45

17.706,99

40,71%

37,86%

3. Krueng Aceh - Aceh Besar

- Pidie

160.465,00

12.904,00

111.812,00 64,49%
4. Krueng Tripa -Nagan Raya

-Gayo Lues

84.729,73

211.716,62

32.300,71

80.771,81

38,12%

38,15%

5. Krueng Tamiang Aceh Tamiang 168.893,16 103.706,78 61,40%
6. Krueng Jamboaye -Aceh Tengah

-Aceh Timur

-Aceh Utara

302.202,35

120.619,89

31.168,16

85.087,07

40.604,78

11.105,21

28,16%

33,86%

35,73%


Total DAS 1- 6 10 Kabupaten 1.524.624,12 714.724,38 46,50%

Sumber: Interpretasi Citra Landsat TM 2001 dan Peta Rupa Bumi, Bakorsurtanal, Balai DAS Provinsi Aceh dan diolah Unit GIS RMID-LDP.

Jika direkapitulasi, maka pada 6 DAS utama yang membentang di 10 Kabupaten dalam Provinsi NAD yang berhasil kami pantau, terlihat bahwa dari total luas 6 kawasan DAS tersebut: 1.537.528,12 Ha, maka sekitar 46,50 % areal DAS tersebut telah mengalami kerusakan atau nilainya sama dengan 714.724,38 Ha.

Dari data tersebut, terlihat bahwa tingkat kerusakan kawasan DAS yang amat besar dan mengkhawatirkan telah terjadi pada DAS Krueng Aceh, DAS Krueng Peusangan, dan DAS Krueng Tamiang, dimana kerusakan sudah mencapai angka di atas 50%. Selanjutnya adalah pada: DAS Krueng Tripa danDAS Krueng Jamboaye yang angka kerusakannya sudah berada di atas 30%.


MUSIM KEMARAU; KEKURANGAN AIR

Selain bencana lingkungan seperti: banjir, longsor dan erosi yang frekuensi kejadiannya makin meningkat. Dampak dari meluasnya kerusakan hutan dan lahan di Aceh, khususnya pada kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) juga telah mengarah ke persoalan kekurangan air di musim kemarau. Meski keadaannya belum separah kondisi kekeringan di Pulau Jawa.

Berdasar analisis kebutuhan air untuk aktivitas: pertanian, industri, domestik, tambak pada beberapa daerah di Aceh ditemukan hal sebagai berikut:

  1. DAS Krueng Aceh (mencakup Kab. Aceh Besar dan Kota Banda Aceh) ditemukan data kekurangan air sebesar 506 juta m3/tahun atau sama dengan 16 m3/detik. Khususnya pada bulan-bulan kering. Sebaliknya pada bulan-bulan basah (musim hujan) terjadi kelebihan air sebesar 19,40 milyar m3/tahun. Yang biasanya menimbulkan daya rusak air (banjir di daerah dataran rendah dan longsor pada daerah dengan kemiringan tinggi).
  2. Pada DAS Krueng Pase– Krueng Peusangan (yang mencakup Kab. Aceh Tengah, Bireun, Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe terdapat data kekurangan air 829 juta m3/tahun atau sama dengan 26 m3/detik. Sebaliknya pada musim hujan terjadi kelebihan pasokan air mencapai 52 milyar m3/tahun. Yang biasanya juga menimbulkan daya rusak air (banjir di daerah dataran rendah dan longsor pada daerah dengan kemiringan yang tinggi). Afsan

(Sumber: Dinas Sumberdaya Air Prov. NAD, 2000)

DAS Di Aceh Kritis

BANDA ACEH. Banjir yang kerap melanda lebih dari tujuh kabupaten/kota di wilayah pantai barat-selatan, pantai timur dan wilayah tengah Aceh, diyakini terjadi karena tingkat kerusakan wilayah hulu berbagai daerah aliran sungai di Aceh semakin tinggi. Penebangan hutan yang tidak terkontrol mengakibatkan banjir setiap tahun melanda semua wilayah ini.

Namun sampai hari ini tidak ada aksi nyata dari berbagai elemen masyarakat dan pemerintah setempat untuk menanggulanginya. Pemerintah terkesan menutup mata atas terjadi kerusakan hutan di Aceh.

Data Wahana Lingkungan Hidup Aceh tahun 2006, kerusakan DAS mencapai 46,40 persen atau 714.724 hektar (ha) dari 1.524.624 ha total luas DAS. Kawasan DAS yang kritis terjadi di pantai timur Aceh, seperti DAS Peusangan, yang merupakan wilayah sumber air lima kabupaten/kota, diantaranya Kabupaten Bireun, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Tengah. Diperkirakan kerusakan rata-rata di atas 70 persen.

Data dari Balai Pengelola DAS Krueng Aceh Departemen Kehutanan, tahun 1999-2008, banyak terjadi pengurangan luasan DAS, termasuk didalamnya luasan daerah resapan air karena pembalakan liar. Kerusakan terparah terjadi di DAS Krueng Aceh. Bila pada tahun 1999, luas tutupan lahan DAS tersebut masih sekitar 207.740 hektar, pada tahun 2008, luas tutupan lahan DAS tersebut hanya mencapai 172.370 hektar saja.

Kemudian, DAS Krueng Peusangan yang semula luasnya mencapai 297.080 hektar, tahun 2008 ini luasannya hanya mencapai 235.975 hektar saja. Begitu juga dengan DAS Krueng Jambo Aye (Aceh Utara), semula luasan lahannya mencapai 533.816 hektar, sekarang hanya mencapai 485.955 hektar saja. Afsan

Jumat, 20 Mei 2011

Kondisi Danau Laut Tawar

Danau Laut Tawar dengan luas sebesar 5.472 Ha dan kedalaman rata-rata 51,13 meter memiliki 42 daerah tangkapan air. Areal tersebut berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalir keseluruh air hujan dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan, dan aliran di bawah tanah, dimana kawasan tersebut merupakan satuan wilayah dibatasi oleh titik-titik topografi tertinggi.

Danau Laut Tawar adalah kawasan hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Peusangan yang mengalir ke Selat Malaka melalui Sungai Krueng Peusangan yang melewati Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara. DAS Peusangan mempunyai luas 2.590,79 km2, panjang sungai 128 KM dan kemiringan rata-rata memanjang 0,01309 dan memiliki sungai sebanyak 107 sungai, dengan potensi air per-tahun sebesar 16.573.744.800 m3.

Saat ini tangkapan air sangat rawan serta berpotensi menimbulkan erosi dengan kemiringan lahan dan panjang lereng yang dapat mempertinggi kecepatan aliran permukaan. Kemiringan lereng di atas 45o merupakan nilai kemiringan yang dominan diperoleh pada daerah tangkapan air Danau Laut Tawar, dimana merupakan 44,62 persen dari total luas lahan

Danau Laut Tawar juga merupakan sumber air bagi hampir 1 juta warga Aceh dan pusat pariwisata. Namun belakangan danau tersebut terancam rusak akibat praktek pembangunan yang berpotensi merusak ekosistem danau. Seperti penebangan hutan liar yang menyebabkan debit air menurun (serambi Indonesia Des, 2009), pengalihan fungsi lahan hutan menjadi perkebunan rakyat atau perumahan, serta tidak adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah tentang tata kelola Danau dan DAS. Hal ini juga mengancam biota khas danau seperti ikan depik, dan hewan langka lain yang hidup disekitar danau seperti kancil, dan harimau sumatra yang diprediksikan hanya tinggal 400 ekor (Serambi Indonesia Okt, 2010). Turunnya debit danau sangat berpengaruh atas ketersediaan air di aliran DAS Peusangan, dan akibat kerusakan di green belt sungai mengakibatkan banjir dimusim hujan.

Apabila terjadi banjir tinggi genangannya rata-rata mencapai 80-100 cm dengan lama banjir antara 24 – 72 jam. Sedangkan luas genangan banjir 192, 50 ha. Data Sungai Departemen Pekerjaan Umum dan Dinas Sumber Daya Air Provinsi Aceh, Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Provinsi Aceh, Mei 2006. Analisis Neraca Air dengan luas wilayah SWS 6.469 km2, maka volume potensi air permukaan berdasarkan perhitungan dari run off neraca air mencapai 6.376.551.922,16 m3/tahun, sedangkan potensi air tanah dari volume storage (simpanan air tanah) mencapai 3.715.335.372,62 m3/tahun.

Danau Laut Tawar memiliki volume air 2,5 triliyun liter dan vegetasi hutan jumlah tegakan 74,57 pohon/ha, kerapatan hutan. Untuk kondisi sekarang ini dalam mencapai jumlah pohon yang ideal dalam satu tegakan (201 pohon/ha), maka dibutuhkan 62,9% pohon yang harus ditanami di sekitar daerah Danau Laut Tawar tersebut, terutama dari jenis Damar (Pinus merkusii), Kayu Nunang, Kayu pirak ( Annoaceae), Gele Uten (Myrtaceae) dan Batang kapuk (Gossypium sp). Vegetasi perkebunan terdiri dari 16 jenis, yang didominasi oleh kopi arabika (Coffea arabica), sedangkan luas daerah tangkapan air Danau Laut Tawar bervariasi antara 22,06 – 2614,11 Ha dengan total luas 14803,22 Ha.

Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah sebagai dataran tinggi bagian dari Danau Lut Tawar telah terjadi pembalakan liar pada masa lampau, kegiatan ini disinyalir merupakan penyebab dari turunnya debit air oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Jika kegiatan ini tidak diberhentikan secara total maka bukan tidak mungkin kedepannya daerah hulu tersebut akan menjadi bagian dari kehancuran Danau Lut Tawar sebagi sumber air untuk memenuhi hak dasar bagi masyarakat.

Daerah hulu merupakan daerah penghasil pinus yang dikelola oleh pemerintah dan beberapa oleh masyrarakat. Sedang perbatasan Bireun dan Bener Meriah sudah mulai terjadi ekspansi perkebunan sawit. Sebagian masyarakat bekerja sebagai petani dengan komoditi coklat, sayur, tanaman obat di daerah hulu dan petani padi sawah di hilirnya. Aktiftas pertambangan galian C juga terjadi di hilir yang melibatkan perusahaa-perusahaan. (Afifuddin dan Fredy)